Sesal

Selama 24 tahun aku hidup tentu sering merasakan sesal, tapi belum pernah sebesar ini. Tahun 2020 adalah tahun yang berat, katanya, dan semua orang pasti setuju. Aku kira pertengahan tahun 2020 adalah masa terberatku, namun ternyata hal itu nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan bulan-bulan selanjutnya.

Malam di awal bulan Oktober 2020 aku mendapatkan telepon dari kerabat di Jogja yang memintaku pulang secepatnya. Bapak mau bertemu, katanya. Menerima telepon itu saja sudah janggal karena bukan Ibuk maupun Mas yang menghubungi. Aku langsung terbang keesokan hari dengan pesawat paling pagi dan paling singkat durasi. Beberapa kali Mas mengirim pesan menanyakan aku sampai mana, tapi masih biasa saja. Dia baru menelepon setelah memastikan aku duduk aman di taksi dari bandara menuju ke rumah. Dari telepon itu aku dikabarkan Bapak telah tiada tadi pagi, tepat setelah aku mengabarkan akan boarding. Sedih, terkejut, marah, sesal, bingung, dan segala perasaan nggak menyenangkan tumpah saat itu.

Bapak memang sudah sakit sejak lama, jadi kabar ini nggak terlalu mengejutkan untuk keluarga kami, termasuk aku. Aku ikhlas melepas kepergian Bapak, malah lega karena Bapak nggak merasakan lagi sakit yang sudah diderita lebih dari 10 tahun. Melihat Ibuk mencoba kuat lagi setelah Bapak dikebumikan, aku juga mulai menata perasaan. Tapi, masih ada perasaan yang tersisa yaitu sesal. Aku menyesal nggak nemenin Bapak, aku menyesal nggak lebih sering menghubungi Bapak, aku menyesal belum mewujudkan keinginan-keinginan Bapak, aku menyesal nggak menunjukkan sesayang apa aku sama Bapak, dan aku menyesal tiba di rumah setelah Bapak tiada. Sesal itu yang membuatku sesak, bahkan sampai saat ini.

Sudah lewat 3 bulan, tapi sampai sekarang rasanya masih belum normal. Masih sering menangis menyalahkan diri sendiri, masih sering membenci keadaan, masih nggak berani lihat segala yang menyangkut Bapak, bahkan nama kontak Bapak. Aku pun malu tampil menjadi manusia yang merasa paling menderita begini, padahal nikmat yang diberi lebih banyak. Mungkin hanya butuh waktu ya, time will heal, katanya. Yang pasti dari kejadian ini aku belajar banyak hal yang aku harap cukup sekali ini saja diajarkan, aku nggak mau remedi Ya Allah :(.

Sesal memang selalu datang terakhir ketika sudah terjadi dan nggak bisa diubah lagi. Rasa sesal yang berujung menyalahkan diri sendiri dan keadaan, padahal nggak ada yang salah. Semua di dunia ini atas kehendak-Nya, kita bisa apa? Yah, semoga nggak ada lagi yang merasakan perasaan nggak menyenangkan ini, mari tutup cerita ini dengan sebuah twit dari Tulus:

Satu lagi deh, sebuah kutipan dari series Reply 1988 episode 7:

Time continues to pass
That’s why time eventually creates farewells
And it always leaves people with regrets
If you love someone, you have to tell them now
Before you fleeting days become filled with regrets  

 

Selamat malam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masa Kecil

Selamat Ulangtahun Pawitikra :3

Wisuda